PPP: DPR punya MKD, Presiden Punya DPR, Kenapa KPK Takut Diawasi?

PPP: DPR punya MKD, Presiden Punya DPR, Kenapa KPK Takut Diawasi?Gedung KPK. ©2014 merdeka.com/dwi narwoko
 Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menegaskan, dewan pengawas KPK diperlukan. Sebab, selama ini KPK tidak memiliki pengawas internal layaknya lembaga hukum lain seperti lembaga peradilan dengan Komisi Yudisial, Kejaksaan Agung dengan Komjak, polisi dengan Irwasum, Propam, dan Kompolnas.
"DPR punya MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), presiden punya DPR. Kenapa KPK takut untuk diawasi?" ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (6/9).
Sekjen PPP itu menilai, pengawasan KPK oleh DPR hanya pengawasan secara umum. Contohnya, laporan kinerja tahunan KPK saja tidak disampaikan kepada DPR.
Menurut Arsul, kewenangan dewan pengawas tidak lebih tinggi daripada pimpinan KPK. Dewan pengawas ini memiliki kewenangan untuk memberikan izin penyadapan, penyitaan, hingga penggeledahan. Kata Arsul fungsi demikian hanya 'pindah' dari pengadilan ke dalam internal karena posisi dewan pengawas berada di KPK.
"Tidak, tidak lebih tinggi. Apanya yang lebih tinggi. Kalau di perusahaan itu kan seperti direksi dan Komisaris. Ada perbuatan tertentu direksi yang memang harus minta persetujuan Komisaris," jelasnya.
Selain itu, Arsul menyebut, orang yang menjadi dewan pengawas melalui tahapan seleksi. Tidak serta merta ditunjuk oleh DPR. Dia pun menyarankan jika pengkritik takut dewan pengawas diisi orang titipan, maka lebih baik turut ikut seleksi.
"Nanti misalnya takut orang-orang masuk, ya nanti orang-orang yang bersih masuklah jadi Dewan Pengawas. Saya bilang lah ke teman LSM, nanti KPK begini begini, nah ente dulu ikut gak pas proses seleksi capim, jangan cuma kritikus aja, ikut dong daftar, usaha kalau jadi kritikus aja sama kek politisi di DPR, kalau kami kan ditugaskan untuk itu, mengkritisi," kata dia. [rnd]
Share:

Sempat Menolak, Ini Alasan Gerindra Akhirnya Setuju Revisi UU KPK

Sempat Menolak, Ini Alasan Gerindra Akhirnya Setuju Revisi UU KPKvertikal fadli zon. ©2019 Liputan6.com/Johan Tallo
  Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyebut, Gerindra menyepakati beberapa subtansi dalam revisi UU KPK. Sebabnya, dia menolak Gerindra disebut tidak konsisten terhadap revisi UU KPK. Namun, dia mengaku pada 2017, fraksi Gerindra menolak revisi UU ini.
"Saya kira persoalannya kan ada beberapa substansi yang kita punya pikiran yang sama. Jadi, saya kira substansi itu yang harus kita bicarakan di dalam pembahasan nanti. Tentu dengan mendengarkan juga dong aspirasi dari KPK, masyarakat, civil society dan semua pihak," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (6/9).
Kendati begitu, Fadli tidak merincikan apa saja yang sepahaman dengan pandangan Gerindra. Fadli mengaku belum mengecek usulan revisi UU KPK yang telah diparipurnakan karena tengah di luar kota.
Menurutnya, revisi UU KPK masih sebatas usulan. Fadli menuturkan, masih akan ada dinamika politik. Beberapa usulan yang sekarang disepakati, kata Fadli masih masuk akal.
"Itu kan baru diusulkan. Nanti dalam pembahasannya Saya kira akan ada komunikasi politik akan ada dinamikanya. Jadi sejauh saya kira poin-poin yang diusulkan kalau itu mengacu kepada yang lalu, masih masuk akal gitu," ucapnya.
Fadli juga memandang, tidak ada hubungan revisi UU KPK dengan revisi UU MD3. Menurutnya, tidak ada kesepakatan tukar guling untuk menggolkan kedua revisi UU tersebut.
"Tidak ada hubungannya ya. Saya kira kalau MPR kan kita tahulah tugasnya. Jadi tidak ada, yang menonjol di sana. Justru lebih kepada sosialisasi jadi kepemimpinannya ya ada perwakilan dari semua fraksi yang ada, plus DPD, saya kira enggak ada masalah," jelasnya.
Sebelumnya, DPR menyetujui revisi UU KPK menjadi usulan. Beberapa poin yang disepakati adalah tentang pembentukan dewan pengawas, kewenangan pemberhentian kasus, penyadapan dan tentang pegawai KPK. [rnd]
Share:

Revisi UU KPK Bentuk Serangan Legislatif dari DPR

Revisi UU KPK Bentuk Serangan Legislatif dari DPRTolak Revisi UU KPK. ©2019 Merdeka.com/Dwi Narwoko
Merdeka.com - Revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR mendapat penolakan dari berbagai pihak. Bukan cuma KPK, tapi juga penolakan dilakukan oleh para pegiat antikorupsi. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam, revisi tersebut merupakan bentuk serangan legislatif terhadap KPK.
"Hal ini (merupakan) bentuk legislation attack terhadap KPK. Upaya melemahkan KPK sudah dilakukan dengan berbagai metode-metode yang lain. Kita masih ingat upaya itu menggunakan hak angket," kata Arif di Kantor Transparansi Internasional Indonesia, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (6/9).
Menurutnya, hal itu jelas merupakan upaya dari legislatif untuk melumpuhkan lembaga antirasuah itu. Upaya lain di luar legislatif pun, kata Arif, kerap ditunjukkan terhadap lembaga tersebut. Arif mencontohkan, teror terhadap para petinggi KPK juga merupakan salah satunya.
"Laporan terhadap KPK (kriminalisasi). Dan menyiapkan (memasukkan) petinggi KPK dari orang-orang kepolisian," ucap Arif.
Arif juga meminta supaya pemerintah menangkal serangan legislatif terhadap KPK. "Kita harapkan pemerintah harus hadir, kita tahu bersama korupsi itu kejahatan luar biasa. Dibutuhkan keberanian dari presiden," tegas Arif.
Apalagi, lanjut Arif, presiden kala kampanye kerap menggemakan antikorupsi kepada pemilihnya.
"Saat momen kampanye, presiden kita secara gamblang (berkomitmen) akan membersihkan bangsa ini secara baik ke depannya," tutup Arif.
Diduga Salah Prosedur
Sementara itu, Pendiri Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menegaskan, revisi undang-undang KPK menyalahi prosedur dan undang-undang. Hal ini, menurut Ray, apabila ditinjau dari beberapa sudut, seperti tata tertib DPR dan maupun undang-undang.
Ia melihat, misalnya saat revisi undang-undang KPK tersebut memaksakan diadakannya dewan pengawas bagi KPK. Kata Ray, hal itu jelas menyalahi perundangan, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
"KPK itu lembaga independen di bawah presiden," kata Ray.
Selain itu, Ray melihat, dari sisi prosedural rapat di DPR pun menyalahi aturan. Ia meminta kepada semua pihak untuk memverifikasi terkait kehadiran anggota dewan dalam rapat yang membahas usulan revisi tersebut.
Menurutnya, yang datang secara fisik dalam rapat itu sejumlah 88 orang. Sedangkan, pihak DPR mengaku bahwa yang menandatangani kehadiran sejumlah 305 dewan. Oleh karenanya, kata Ray, jika total anggota dewan saat ini berjumlah 560, maka jumlah 305 sudah lolos kuota forum (kuorum).
"Tapi coba teman-teman media atau siapapun mengkroscek apakah 200 sekian yang tidak ada kehadirannya secara fisik itu benar-benar tanda tangan," pinta Ray.
Kalau tidak ada, lanjut Ray, maka rapat paripurna kemarin jelas tidak sah. "Kalau tidak ada, jelas rapat paripurna kemarin tidak memenuhi kuorum dan hasilnya (revisi UU KPK) juga tidak sah," tegas Ray.
"(Karena) menurut saya tidak memenuhi prinsip-prinsip yang diatur oleh konstitusi kita," tutup Ray.
Reporter: Yopi Makdori
Sumber: Liputan6.com [rnd]
Share:

Bahas Revisi UU KPK, Komisi III DPR Tunggu Surat Presiden

Bahas Revisi UU KPK, Komisi III DPR Tunggu Surat PresidenArteria Dahlan. ©2017 dok foto dok ri
 Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mengakui tanpa adanya surat presiden (Surpres), maka revisi UU KPK tidak mungkin dibahas. Oleh karena itu, DPR menghormati apa pun keputusan Presiden Joko Widodo, meski nantinya presiden menolak mengeluarkan Surpres.
"DPR selalu menghormati, kalau tidak keluar Surpres Pak Presiden tidak mau memilih menteri teknis untuk membahas bersama, kan enggak bisa dibahas juga (RUU KPK)," kata Arteria di kawasan Menteng, Jakpus, Sabtu (7/9).
Arteria menyebut DPR hanya menawarkan revisi sebagai kewajiban dan untuk memperkuat KPK. "Kami sudah menawarkan ke publik ya sebagai kewajiban moral, konstitusional dan kewajiban moral kami perlu dilakukan perbaikan institusi KPK dan saatnya sekarang dengan pertimbangan yang kami rasa cepat," ujarnya.
Namun apabila Jokowi mengeluarkan Surpres dalam waktu dekat, maka DPR akan membahas dan mengesahkan revisi UU KPK, atau kalau tidak akan dilanjutkan di periode selanjutnya.
"Ya dilanjutkan ke periode berikutnya. kalau Surpres turun tidak terlalu lama kita bisa optimis kan 33 artikel ini bisa selesaikan secara cepat. Karena ini sudah dibahas cukup lama. walaupun tidak melembaga seperti RKHUP yang begitu panjangnya materi muatan sudah dibahas dan disetujui oleh DPR maupun pemerintah," jelasnya.
Politikus PDIP itu mengatakan revisi UU KPK berawal dari inisiatif DPR. Saat ini pihaknya dalam posisi menunggu Surpres Jokowi. Ia tidak berkomentar apakah Jokowi sudah menyetujui atau tidak revisi UU itu.
"Posisinya kalau bicara secara hukum, DPR menginisiasi draf revisi UU KPK. Sudah bersurat ke presiden, tinggal menunggu Surpres-nya Pak Jokowi," ujarnya.
"Kalau persetujuan dari pemerintah untuk bahas bersama dengan DPR. Kalau materi muatan sudah bahas di 2017 tidak DPR sendiri. Tafsirkan sendiri apakah pemerintah sudah setuju dengan materi muatan kita," tandasnya.
Reporter: Delvira Hutabarat [cob]
Share:

Fahri Hamzah soal Revisi UU KPK: Kalau Ada Lembaga Terlalu Kuat Ya Harus Dilemahkan

Fahri Hamzah soal Revisi UU KPK: Kalau Ada Lembaga Terlalu Kuat Ya Harus DilemahkanFahri Hamzah. ©2017 dok foto dok ri
 Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, menilai tidak masalah jika Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) direvisi. Sebab, kata dia, hal itu perlu dilakukan sebagai check and balances dalam negara demokrasi.
"Sekarang kalau ada amandemen UU KPK dan sebagian kewenangannya dirampas itu enggak ada masalah," kata Fahri di pada wartawan, Minggu (8/9).
Fahri menjelaskan, salam sistem demokrasi semua lembaga harus memiliki kekuatan yang sama. Maka, lanjutnya, jika ada lembaga yang terlalu kuat harus dilemahkan.
"Dalam teori sistem demokrasi, semua lembaga harus punya kekuatan yang sama dalam konsep check and balances jadi kalau ada lembaga yang terlalu kuat ya memang harus dilemahkan," ungkapnya.
Tambahnya, revisi UU KPK juga sama seperti amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang merampas kewenangan presiden. Karena itu, dia menilai tidak akan ada masalah dari revisi UU KPK.
"Dulu waktu kita amandemen UUD 45 sampai empat kali, pikirannya dan tujuannya untuk melemahkan presiden. Dalam amandemen UUD 45 itu kekuasaan presiden dirampas," ucapnya.
Kendati demikian, Fahri menilai revisi UU KPK ini sama sekali tidak melemahkan lembaga antirasuah. Revisi itu, hanya untuk mengatur pengawasan KPK.
"Tapi setahu saya engga ada perampasan hak, hanya pengawasan dan menghindarkan KPK dari kesalahan," tandasnya. [lia]
Share:

Revisi UU MD3, Momen Tepat Maksimalkan Peran Perempuan di Parlemen

Revisi UU MD3, Momen Tepat Maksimalkan Peran Perempuan di ParlemenGedung DPR. Merdeka.com/Imam Buhori
 Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Very Junaidi menilai revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) adalah momen untuk maksimalkan pelibatan perempuan di parlemen.
Ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 82 Tahun 2018 yang mengamanatkan pengutamaan pelibatan perempuan di Alat Kelengkapan Dewan (AKD) parlemen.
"Hari ini karena momentumnya karena ada wacana untuk melakukan revisi UU MD3 mestinya ini menjadi perhatian bagi MPR dan DPR untuk kemudian juga memperhatikan apa yang kemudian sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi," kata Very di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (8/9).
Very menjelaskan, dalam putusan itu MK meminta perempuan harus diutamakan dalam proses pemilihan pimpinan DPR atau AKD. Putusan MK itu harus dilaksanakan.
"Kalau kita berbicara soal pembuatan hukum, segala kemungkinan harus diperhitungkan. Sebenarnya kalau kita membaca pada waktu itu, MK pun juga kalau bisa diwajibkan, diwajibkan soal keterwakilan perempuan," ungkapnya.
"Oleh karena itu, kami menuntut supaya DPR dalam revisi UU MD3 memasukkan putusan MK nomor 82 tahun 2014 ini sebagai rujukan dalam revisi UU nantinya," sambungnya.
Dia juga meminta revisi ini tidak boleh hanya mementingkan kepentingan partai. Tetapi juga harus kembali para putusan tertinggi yakni putusan MK.
"Ini juga menunjukkan komitmen DPR bagaimana memperjuangkan keterwakilan perempuan bukan hanya soal keanggotaan bahkan sekarang ada rujukan hukumnya, rujukan konstitusinya yang harus dijalankan oleh pembuat UU," ucapnya.
Diketahui, DPR Akan membahas revisi UU MD3. Revisi itu berfokus pada penambahan pimpinan MPR dari lima menjadi 10 orang. [noe]
Share:

Tak Punya Anggota DPR dari Aceh dan Sumbar, PDIP akan Gunakan Pendekatan Baru

Tak Punya Anggota DPR dari Aceh dan Sumbar, PDIP akan Gunakan Pendekatan BaruHasto Kristiyanto. ©2019 Merdeka.com
 Aceh dan Sumatera Barat menjadi dua wilayah yang gagal meloloskan anggota DPR dari PDIP pada pemilu legislatif 2019 lalu. Target tiap daerah pemilihan minimal satu anggota DPR dicanangkan PDIP untuk pemilu 2024. Pendekatan berbeda akan dilakukan PDIP untuk memenuhi target itu.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, pihaknya bisa melihat dinamika masa lalu sehingga tidak begitu kuat di beberapa wilayah Aceh dan Sumatera Barat. Di pemilu 2019 lalu, tak ada satupun anggota dewan perwakilan PDI Perjuangan dari wilayah itu.
Untuk itu, partainya merasa perlu melakukan pendekatan baru, dengan melakukan langkah konsolidasi sesuai dengan perintah kongres V PDI Perjuangan yang lalu. Sebagai Sekjen, dirinya juga menjalankan arahan dari Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri.
"Kita akan terus belajar dari kesalahan. Bagaimana membangun hubungan yang baik dengan masyarakat, sehingga diberikan kepercayaan yang penuh oleh seluruh daerah di Indonesia," kata Hasto, dalam pembekalan anggota DPD dan DPC PDIP se-Provinsi Aceh, di Banda Aceh, Minggu (8/9).
Di dalam target pemilu ke depan, kata Hasto, pihaknya ingin agar di setiap daerah pemilihan, sekurang-kurangnya ada satu perwakilan dari partainya.
"Dengan demikian, PDI Perjuangan sebagai penjaga Pancasila, ditinjau dalam representasi, juga tercermin di seluruh daerah pemilihan," jelas Hasto.
Khusus untuk wilayah Aceh, selain langkah konsolidasi kader, Hasto mengatakan pihaknya juga akan membangun kantor baru di tiga kabupaten.
"Kami mencanangkan membangun 3 kantor DPC, yaitu di Bireuen, di Aceh Besar, dan satunya di Aceh Tengah. Dari situ kita akan bergotong-royong. Karena kantor partai sebagai pusat pengorganisasian rakyat, itu kami kembangkan," kata Hasto.
Ketua DPD PDIP Aceh, Muslahuddin Daud, mengatakan pihaknya akan mendesain ulang kantor-kantor partai di Aceh sehingga tak ada sekat antara pengurus partai dan masyarakat. PDIP Aceh akan bekerja keras untuk menunjukkan ada guna yang bisa dirasakan oleh rakyat Aceh.
"Ketika masyarakat bagaimana merasakan bergabungnya dengan partai ini memiliki nilai lebih dari sisi kehidupan mereka, lingkungan mereka, kami yakin tahun 2024 itu meraih suara tidak sulit," kata Muslahuddin.
Dalam acara itu, hadir sejumlah pemateri dari DPP PDIP. Di antaranya adalah Ketua DPP Bidang Ideologi dan Kaderisasi Djarot Syaiful Hidayat, Ketua DPP Bidang Luar Negeri Achmad Basarah, Ketua DPP Bidang Kelautan, Perikanan dan Nelayan Rochmin Dahuri dan Wasekjen Arif Wibowo.
Selain itu ada juga anggota Balitbang DPP PDIP Rahmad Sahid, Kepala Sekretariat DPP PDIP Irvansyah dan BP Pemilu DPP PDIP Iman Sudirman.
Dalam acara pembukaan pembekalan kader PDIP ini, partai berlambang banteng moncong putih itu juga mengundang tokoh dan pimpinan partai politik setempat. Turut diundang di antaranya Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah, Muzakkir Manaf dan Ketua DPD I Golkar Aceh TM Nurlif.
Reporter: Putu Merta Surya Putra
Sumber: Liputan6.com [bal]
Share:

Demi Perkuat Ketatanegaraan, Demokrat Setuju Pimpinan MPR Jadi 10 Kursi

Demi Perkuat Ketatanegaraan, Demokrat Setuju Pimpinan MPR Jadi 10 KursiPrabowo kumpulkan sekjen partai koalisi. ©Liputan6.com/Angga Yuniar
 Demokrat setuju dengan rencana penambahan pimpinan MPR menjadi 10 kursi. Hal ini akan dilakukan dalam penggodokan revisi UU MD3 yang tengah dibahas di parlemen bersama pemerintah.
Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan menganggap, hal itu merupakan bentuk penguatan sistem ketatanegaraan Indonesia.
"Sistem ketatanegaraan kita memang harus diperkuat. Oleh kerena itu apa yang ingin kita nyatakan memperkuat sistem ketatanegaraan itu adalah perkuatan pada MPR," tegas Hinca saat ditemui di DPP Partai Demokrat, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/9).
Menurutnya, setiap partai memiliki tanggung jawab yang sama untuk melakukan hal itu, tak terkecuali juga bagi Partai Demokrat. Terlebih lagi, lanjut Hinca, dalam beberapa tahun ini Indonesia dirundung berbagai permasalahan. Termasuk yang baru-baru ini terjadi mengenai konflik di Papua.
"Soal intoleransi, radikalisme, soal banyak hal soal fundamental bernegara. Saya kira saatnya untuk semua kita terutama parpol di MPR untuk mulai fokus lagi memperkuat sistem (ketatanegaraan)," ucap Hinca.
Di mata Hinca, sistem ketatanegaraan Indonesia sejak reformasi hingga saat ini terus mengalami pelemahan. "Pasca reformasi ini kita agak longgar dan sekarang itu menjadi pelajaran yang baik untuk semua," katanya.
Reporter: Yopi Makdori
Sumber: Liputan6.com [rnd]
Share:

Diganti Cuma Lewat Surat, 300 Pengurus DPD PKS Tangerang Mundur

Diganti Cuma Lewat Surat, 300 Pengurus DPD PKS Tangerang Mundurkampanye pks di semarang. ©2014 merdeka.com/parwito
 300 Pengurus dan kader Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Kabupaten Tangerang, mengundurkan diri (demisioner) dari kepengurusan dan keanggotaan PKS 2015-2020.
Sekretaris Umum DPD PKS Kabupaten Tangerang, Dwinanto mengungkapkan, pengunduran diri 300 pengurus dan kader partai ini, akibat sudah tidak ada lagi persamaan pandangan dalam menjalankan roda kepengurusan partai.
"Secara umum kami menilai arah kebijakan pimpinan partai kami tidak sesuai lagi dengan semangat perjuangan kami," kata Dwinanto, Senin (9/9).
Diterangkan dia, 300-an orang yang mengundurkan diri dari keanggotaan DPD PKS Kabupaten Tangerang itu, adalah pengurus periode tahun 2015-2020 dan kader.
"Dari yang resign total 300an, pengurus 2015-2020 dan berhenti di 2019 dan sekarang sudah ada pengurus baru," ungkap dia.
Dwi menuturkan, kepengurusan DPD PKS Kabupaten Tangerang periode 2015-2020 telah diganti berdasarkan instruksi DPP PKS tertanggal (15/8) lalu. Hal ini juga menjadi salah satu pemicu gerakan mundur tersebut.
"Ketua, sekretaris, bendahara, ada surat penggantian. Kalau selama ini pergantian pengurus dengan musda. Baru kali ini kami menerima hal seperti ini. Sebenarnya bukan hanya sekadar itu, lebih kepada arah perjuangan tidak seirama," ucap Dwi. [rnd]
Share:

Gerindra Komit dengan PKS Soal Wagub, Kalau Ada Nama Baru Itu Usul Pribadi

Gerindra Komit dengan PKS Soal Wagub, Kalau Ada Nama Baru Itu Usul PribadiPKS Bahas Kursi Wagub DKI. ©Liputan6.com/Ady Anugrahadi
Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta rencananya akan dilaksanakan setelah pembahasan tata tertib dan alat kelengkapan dewan (AKD) rampung. Setahun lebih kursi wagub kosong setelah ditinggal Sandiaga Uno yang mencalonkan diri sebagai Cawapres pada Pilpres 2019.
Jatah kursi Wagub menjadi milik PKSGerindra pun menyatakan, masih komitmen dengan dua nama yang telah diusulkan PKS yaitu Agung Yulianto dan Ahmad Syaikhu. Demikian disampaikan Anggota Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta, Syarifudin.
Syarif mengatakan, dua nama yang menjadi usulan Waketum Gerindra bukanlah usulan resmi. Waketum Gerindra, Arief Pouyono mengusulkan dua nama yaitu Moch Iriawan dan Tatang Zainuddin.
Syarif menegaskan, dua nama usulan Pouyono merupakan usulan pribadi. Pihaknya tetap konsisten dengan dua nama yang telah disepakati bersama PKS.
"Itu mengusulkan pribadi. Pendapat pribadi. Ya saya bilang kita hormati, kita hargai usulan, tapi itu kan bukan sikap resmi partai," jelasnya di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin (9/9).
Soal pemilihan wagub ini termasuk bagian dari dinamika dalam rapat tatib di DPRD. Dia menyebut ada permintaan dari PKS agar pemilihan wagub dimasukkan dalam batang tubuh tatib. Pelaksanaan pemilihan ini setelah tatib disahkan.
"Kapan pelaksanaannya? Tunggu ketok palu tatib," ujarnya. [rnd]
Share:

Recent Posts